Headlines News :

KEMAJUAN KECAMATAN DI TANGAN MASYARAKAT PBL. Aangedryf deur Blogger.

">Index »'); document.write('

?max-results=10">Label 2

');
  • ?max-results="+numposts1+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts1\"><\/script>");

Totale bladsykyke

NIAT PUASA ESOK

NIAT PUASA ESOK

MARICA TV

Maafkan Aku Jika Belum Bisa Bilang Cinta


“Mencintai adalah kesiapan untuk memberi”
[Serial Cinta - Ust. Anis Matta]

“Afwan... seandainya ana bisa mencintai anti sepenuh hati,“ gadis cantik yang ada di depanku ketika itu makin deras mengucurkan air mata.
“Jadi… selama ini…??” ucapnya terbata. Tanpa sadar aku melukainya, membuat bahunya tambah berguncang hebat.
“Ana tak bisa bilang cinta… itu resikonya terlampau berat… sedang ana belum melakukan apapun untuk anti… ana belum pernah berkorban sekuat tenaga untuk membantu meringankan setiap beban anti… bahkan dalam setiap sujud belum sekalipun menyebut nama anti dan mengucapkan doa tulus khusus untuk anti… afwan ana harus jujur…” demikian panjang dan lebar aku menjelaskan. Meski, pada akhir pertemuan ada penyesalan yang begitu menyesakkan. Semoga tak pernah terulang di masa depan.

Mencintai adalah sebuah keputusan besar. Demikian kata ust. Anis Matta, di buku Serial Cinta yang belum pernah bosan berulang-ulang kubaca. Beliau mengatakan cinta adalah kata lain dari memberi… sebab memberi adalah pekerjaan… sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat… sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu yang lama… dan pekerjaan berat yang harus ditunaikan dalam waktu yang lama itu hanya mungkin dilakukan oleh orang- orang yang berkepribadian kuat dan tangguh.

Maka beliau mengingatkan, berhati-hatilah saat mengatakan “Aku mencintaimu “. Kepada siapapun. Beliau mengatakan “Aku mencintaimu” adalah ungkapan lain dari “Aku ingin memberimu sesuatu”. Itulah yang sedikit banyak menggerakkanku untuk menata ulang kebiasaan lama yang pernah dengan mudah sering mengatakan “Uhibbukum fillah… aku mencintai antum saudari-saudari ku…”

Aku menginsyafi diri ternyata lebih sering ungkapanku hanya sekedar kata. Sebab jika meraba hati rupanya belum banyak yang kulakukan untuk membuktikan cinta pada saudara-saudaraku seiman. Pada saudara-saudaraku sepergerakan. Pada mad’u yang pernah kupegang. Pada siapapun. Karena ungkapan cintaku  butuh pembuktian. Sebab jika tak ada pembuktian, integritas diri bakal menghilang. Tak salah jika akan lenyap rasa kepercayaan. Dan tak ada cinta tanpa kepercayaan.

Mencintai adalah kesiapan untuk memberi. Memberi pertolongan maksimal saat saudara-saudaraku membutuhkan. Dengan ide, tenaga dan isi kantong jika perlu. Memberi pundak untuk bersandar jika mereka mulai merasa lelah dengan segala beban. Memberi pelukan hangat saat mereka butuh untuk dikuatkan. Memberi senyuman semangat meski kadang batin juga sedang terguncang hebat. Memberi kualitas pertemuan terbaik di sela kepadatan jadwal masing-masing. Tak lupa pula, memberi doa terindah dalam sepi di setiap sujud panjang di hadapan Rabb kita. Demikian sederet pembuktian yang mungkin bisa dilakukan saat aku mengatakan pada mereka “Uhibbukum fillah”. Tak pantas kiranya jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.

Itu yang pada akhirnya membuatku lebih berhati-hati untuk tidak mengumbar deklarasi cinta belakangan ini. Aku menggantinya dengan “I’ll try to love you…hardly”. Dengan harapan, aku berazzam untuk tidak berhenti berusaha mencintai saudara-saudara seiman dengan sepenuh hati. Dan yang terpenting, mencintai mereka dengan sepenuh bukti.

Hingga besar harapan termasuk golongan yang disebut dalam sabda Sang Nabi ini.
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.”.

Wallahu a’lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Saat Getar Cinta Menyapa Jiwa



Ikhwan–akhwat aktivis dakwah, demikian orang lebih sering menyebutnya. Keduanya tampak terlihat sibuk. Mereka berdua menghabiskan hampir setiap waktu mereka di luar rumah. Di ruang kuliah, di masjid kampus, di rumah kontrakan yang jadi markas dakwah dan bahkan di arak-arakan jalanan saat mereka demontrasi. Sepenggal fase hidup mereka dipenuhi dengan Jadwal syuro, kajian, bakti sosial, outbond hingga aksi turun ke jalan. Selayaknya anak manusia seumur mereka, lumrah apabila ada “getar-getar” di antara mereka. Getaran tersebut tercermin dari perbincangan keduanya seperti ini :

[di Telepon]
Ikhwan : Assalamuaikum... apa kabar ukhtie…??
Akhwat : Wa’alaikum salam Akhi... Alhamdulillah, saya baik
Ikhwan : sedang sibuk..?? boleh minta waktunya..?? ana ingin “konsultasi nih”…..??
Akhwat : Ndak sibuk kok
Ikhwan : @@E$%^&^&*(((@))####..........ABCDEFG……..ZZZZZ
Akhwat : $%$]##$@@@&@*………….*dengan wajah semu merah diujung telepon )

[lain waktu lagi di INBOX chatting di dunia maya]
Akhwat : Met MILAD ya akhie... Barokallohu fi umrik
Ikhwan : Jazakillah ukhtie…..
Akhwat : oh ya... ini saya attach’kan nasyid special sbg hadiah...
Ikhwan : Jazakillah Ukhtie… akan saya ingat selalu…

[ Semua masih berlanjut seiring waktu lewat telepon, pesan singkat dan dunia maya... hingga suatu ketika...]
Akhwat : Apa tidak sebaiknya kita melabuhkan rasa di antara kita dalam pernikahan..?
Ikhwan : Menikah…??? Afwan, sepertinya saya belum siap…
Akhwat : …………??????????

Fragmen 2

Jaka dan Gadis. Keduanya sudah saling mengenal. Keduanya sering bertemu . Keduanya tak jarang saling membantu. Tak ada “getar” apapun diantara mereka, setidaknya itu yang Gadis rasa. Hingga suatu masa sang Jaka membuka suara….

Jaka : kutulis sebuah puisi untukmu… bacalah…
Gadis : baiklah…

[Lagi…]

Jaka : Sebuah puisi lagi ku kurangkai dengan penuh cinta... bacalah…
Gadis : Oh ya... baiklah

[Berkali sudah terjadi… entah sudah berapa bilah puisi... meski tak menumbuhkan apapun di hati Gadis… tetap saja Gadis merasa ini gilirannya angkat bicara]

Gadis : puisi- puisi itu sudah cukup kiranya… hanya saja ku ingin bertanya, keberanian... sudahkah itu kau punya???

Jaka : Menikah…??? Tak layak kiranya aku menduakan cintaNya.. aku belum sanggup.
Gadis : …???

Fragmen 3

Popeye dan Olive. Tak pernah sekalipun bertemu, apalagi bercakap panjang yang tak perlu. Lewat sang kawan, Brutus lah keduanya mengenal dan berbagi tahu. Cukup saja sampai di situ tak lebih dari itu. Hingga suatu waktu…

Popeye : Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim... maukah engkau menunggu... bila urusanku selesai, ku ingin menemui walimu untuk meminangmu. Maaf bila ada kalimat yang tidak berkenan di hatimu. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Olive : ………………………..??????????

Untuk ketiga kisah di atas ingin saya kutipkan puisi dari salah satu penulis favorit saya

Harapan tanpa iman
Adalah kekecewaan yang menunggu waktu
Kebahagiaan tanpa barakah
Bagai bayang-bayang tanpa cahaya
Orang suci
Menjaga kesuciannya dengan pernikahan
Menjaga pernikahannya dengan kesucian

(Salim A. Fillah)

Cinta itu untuk semua. Tak peduli apakah ia sosok seorang aktivis dakwah, mahasiswa yang study oriented semata, pekerja lulusan SMA, atau bahkan –maaf- pengangguran tanpa pekerjaan. Kesemuanya punya hak dan lumrah sesuai fitrah jika dihinggapi oleh rasa cinta yang tulus suci. Anis Matta menyebut dalam kumpulan tulisannya Serial Cinta, cinta adalah perasaan yang luhur. Perasaan yang luhur tersebut adalah gejolak kemanusiaan yang direstui di sisi Allah. Sebab karena direstui oleh Allah itulah Rasulullah bersabda “Tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang sudah saling jatuh cinta kecuali pernikahan”. Dan jalan itulah selayaknya yang terbaik yang harus dipilih saat seseorang disinggahi rasa yang menggetarkan hati itu. Bukan. Bukan yang lain.

Dalam bukunya Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim , Salim A. Fillah mengutip sebuah laporan tentang tren HTS –Hubungan Tanpa Status- diantara para aktivis dakwah yang diliris majalah UMMI September 2006. Mungkin akan ada dan bahkan banyak yang akan keberatan dengan hal yang beliau tulis tersebut. Beliau mengemukakan bahwa ketika pembicaraan tentang pernikahan disisihkan dengan alasan menghambat produktivitas kader dakwah, tetapi ternyata kemudian banyak dari sebagian mereka mencarinya dari sumber- sumber yang men-sibgah mereka bukan dengan kata “tanggung jawab “ sebagaimana Islam dan dakwah yang mereka usung mengajarkan. Sebaliknya , sebagian mereka lebih memilih “having fun” seperti yang diajarkan syetan. Beliau juga menyampaikan bahwa menikah adalah keindahan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai beban. Rumah tangga adalah kemuliaan kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tak bermakna. Bagi aktivis dakwah, menikah, dakwah dan jihad adalah seiring sejalan. Sebab ia bukan buah yang dipetik atau istirahat yang diambil setelah lama berjuang. Sebab ia bukan terminal perjalanan. Sebab sejatinya ia lebih bisa disebut sebagai awal perjuangan.

Pada Akhirnya… tak memandang apapun predikat yang melekat pada diri seseorang . Tak peduli siapapun dia. Jika cinta dalam hatinya tulus. Maka bisa dipastikan ia akan menapaki jalan suci sebagai mana yang telah Rasulullah tunjuki dalam sabdanya di atas. Jalan suci pernikahan. Bukan jalan “permainan” hubungan tanpa status yang tak berujung. Wallahu ‘a’lam bis shawab. [Kembang Pelangi]

Berdakwah dengan Pena

Jalinan aneh ini, getar ini : cinta. Dalam segala keterbatasan, kita telah mencoba menebarkannya di jalan – jalan berliku, yang kita lalui. Percayalah, selalu akan sampai pada seseorang.
(Helvy Tiana Rosa, Risalah Cinta)

Membaca dan menulis. Yang pertama, sejak masih belia saya menyukainya. Bahkan hingga kini. Mulai LKS atau kitab setiap mata pelajaran, majalah Mentari, majalah Bobo, Harian Jawa Pos, semua saya baca. Bahkan hingga Salah Asuhannya Abdul Muiz atau Sitti Nurbayanya Marah Rusli saya lahap semua saat sekolah lanjutan tingkat pertama. Hanya mungkin yang tak pernah tersentuh, buku psikologi dan manajemen diri yang murni dengan bahasa baku dan kaku yang terlampau sulit saya pahami hingga kini. Menginjak masa SMA dan bangku kuliah sepertinya semangat baca saya makin menggila. Apalagi semenjak mengenal Harakah Dakwah. Tak pelak, saya tersadar terlampau banyak buku–buku dahsyat yang menggiurkan dan terlampau sayang untuk dilewatkan. 

Sedangkan menulis, jujur saya tidak benar–benar menyadari jika saya menyukainya. Meski mengisi diari sudah menjadi kebiasaan yang tak terlewatkan kala masih di bangku sekolah. Saat kuliah, tulisan–tulisan iseng saya hanya menempel di Mading kamar mungil yang saya sewa. Tidak lebih dari itu. Kini Allah memudahkan jalan bagi saya, ada pintu terbuka bagi saya untuk lebih serius menggoreskan pena.

Menulis. Ternyata bukan pekerjaan sederhana. Dengan menulis tanpa sadar kita sedang mendulang pahala. Bagaimana bisa…??. Semua berawal dari niat. Jika niat menulis kita tulus untuk menyampaikan kebaikan. Bukan sekedar demi uang dan kebanggaan. Apapun bentuk tulisan itu, entah puisi, cerpen, novel, artikel ataupun berita tentang kisah nyata. Saya punya keyakinan jika setiap untaian kata penuh makna yang coba kita ciptakan bisa dipastikan akan membekas dalam bagi yang membacanya. Maka sejak pertama yang mesti ditata saat menulis tak hanya sejumlah buku atau artikel yang akan kita jadikan sebagai panduan dan referensi semata. Yang lebih penting dari itu semua. Tentu saja, niat. Saat hanya Ilahi yang jadi motivasi sejati maka keberkahanpun akan datang menghampiri.

Terbukti hati saya sering tertambat pada nama–nama penulis yang saya sebutkan ini. Helvy Tiana Rosa, Anis Matta, Salim A.Fillah, Habiburrahman El Shirazy dan M. Lili Nur Aulia. Betapa banyak pembaca yang merasa tercerahkan setelah membaca karya-karya mereka.

Helvy Tiana Rosa. Penulis wanita penggagas komunitas penulis sastra islami, Forum Lingkar Pena. Cerpen fenomenal beliau Ketika Mas Gagah Pergi telah sukses tak hanya membuat pembacanya menangis haru karena ending cerita yang cukup tragis. Namun, cerpen itu pula yang menggerakkan begitu banyak muslimah muda untuk berbondong-bondong memakai jilbab untuk menjaga kehormatan mereka. Begitupun tak sedikit lelaki muda yang merasa akan terlihat lebih “ganteng” saat mampu berislam dengan baik dan sungguh-sunguh sebagaimana karakter Mas Gagah yang ada di cerpen tersebut. Dan kabar terakhir menyebutkan, jika audisi pemain sedang digelar sebab cerpen tersebut akan segera diangkat ke layar lebar. Semoga berkahnya makin bertambah.

Anis Matta. Siapa yang tidak mengenalnya, terlebih dengan pemberitaan yang bertubi belakangan ini. Publik kini mengenalnya sebagai orator ulung hingga julukan Soekarno Muda melekat padanya. Tapi, beliau tak hanya mumpuni dalam hal berbicara saja. Beliau pun tak kalah fasih saat menguraikan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Entah sudah berapa buku yang beliau rampungkan. Tapi yang pasti dari sekian banyak bukunya, Dari Gerakan ke Negara dan Menikmati Demokrasimenjadi bacaan wajib bagi para anggota KAMMI, sebuah organisasi mahasiswa tempat berkumpulnya para calon pemimpin negeri. Tema tulisan beliau pun bervariasi mulai tema cinta, motivasi, doa sehari-hari hingga konsep alur pemenangan dakwah. Semuanya tak pernah sepi peminat.

Salim A. Fillah, penulis muda yang bukunya banyak diminati. Usianya mungkin baru 29 tahun tapi pembaca bisa merasakan kedalaman dan ketajaman pola berfikir beliau jauh melampaui bilangan usianya. Beliau piawai memadukan dalil, kisah hikmah,dan sastra menjadi sebuah tulisan yang sarat dengan hikamah. Buku Dalam Dekapan Ukhuwah miliknya menuntun pembacanya memahami hakikat ukhuwah yang sejati. Dengan harapan agar membangkitkan kembali kekuatan ummat yang detik ini terserak-serak bagaikan buih yang tak berarti, sebagaimana yang beliau kutipkan dengan jelas hal tersebut pada bagian belakang sampul bukunya.

Habiburrahman El Shirazy, dengan panggilan Kang Abik ia lebih dikenal. Ayat-ayat CintaKetika Cinta Bertasbih dan Dalam Mihrab Cinta adalah tiga buah novel karangannya yang banyak diburu pembaca. Bahkan ketiganya diangkat di layar lebar. Lewat sastra beliau berdakwah, berbagi kedalaman pengetahuan agama yang dimiliki. Sebab hal yang berbau syariah, hukum fiqih, dan muamalah tak selamanya harus disampaikan lewat mimbar- mimbar khutbah. Apalagi di negeri yang jumlah orang yang mampu pendengar yang baik tak banyak ditemui. Dan para duat sejati, pasti tak boleh kehilangan akal bagaimana hal-hal berbau agama tak kehilangan peminatnya. Dan lewat sastra itulah salah satu wasilahnya. Dan sejauh ini beliau belum terlihat gagal dalam mengusung ide dakwah tersebut.

Nama yang terakhir mungkin lebih diakrabi oleh para pembaca setia majalah Tarbawi, Muhammad Lili Nur Aulia. Tulisan–tulisan jernih miliknya masih setia menghiasi lembaran majalah tersebut hingga kini. Kata–kata lembutnya seperti embun pagi yang menetes di jiwa pembacanya. Menyegarkan, menentramkan dan menginspirasi. Sering tulisan beliau mengajak pembaca untuk lebih dekat dan lebih dalam memandang suatu suatu kondisi, masalah dan berbagai hal yang kadang hanya dipandang sebelah mata. Tak sedikit pembaca yang mengakui jiwa dan hatinya tersentuh hingga berubah menjadi lebih bijak setelah membaca tulisannya.

Demikianlah sekian nama yang bisa jadi penyemangat dan sumbu motivasi bagi para penulis pemula seperti saya. Meski tentu saja motivasi paling sejati hanyalah Ilahi Robbi. Setidaknya dari mereka kita bisa belajar bahwa saat menulis kita tidak hanya sekedar merangkai kata-kata. Sebaliknya kita sedang menjalin benang–benang pahala yang bisa jadi dengannya pintu surga bisa terbuka. Sebab kita tak pernah tahu, entah di belahan dunia mana dan pembaca ke berapa yang merasa terinsinpirasi dan tercerahkan oleh tulisan kita. Maka sejatinya kita tak perlu ragu, sebab saat kita menuliskan kebaikan-kebaikan dengan penuh cinta dan niat tulus hanya untukNya, yakinlah.. percayalah akan sampai pada seseorang. InsyaAllah. Maka hanya satu kata dari saya, selamat dan semangat berdakwah dengan pena. [Kembang Pelangi]

Ruh Sebuah Amal

Amal itu ibarat sebuah jasad sedangkan keikhlasan adalah ruhnya
[Ibnu Atha’illah]

Tak mudah itu bukan berarti tak mungkin. Itu yang saya coba untuk percaya. Dan tanpa henti, saya yakinkan pada hati. Terlampau sering saya beramal tapi kemudian di penghujung setelah sebuah amal dilakukan, saya tiba-tiba menjadi ragu apakah amal yang saya lakukan akan berbuah pahala. Apakah seiring berjalannya waktu, saya akan benar-benar mampu menjaga ikhlasnya niat atas amalan tersebut.

Hati–hati dengan godaan keikhlasan. Begitulah, taujih yang disampaikan pimpinan kami di ladang dakwah baru ini, tempat bagi kami, para penulis pemula bernaung. Beliau awali pertemuan kali itu dengan kisah seorang mujahid yang tak banyak dikenal dalam sejarah. Bahkan dalam buku shirah yang sering kita baca,hanya satu kali saja namanya disebut. Tak lebih dari itu. Namanya, Tsabit bin Arqam. Beliau ikut berperang, berjihad. Dan menjadi penyelamat bendera kaum muslimin di perang muktah ketika itu. Dan sekali lagi ia tidak banyak dikenal dan tak ingin terkenal. Tapi bukan berarti jasanya dipandang remeh dan tak berarti. Sebab pasti tercatat disisiNya. Begitupun, sebaiknya kami meneladani sahabat tersebut, berazzam sekuat tenaga menata niat dan keikhlasan saat kami berdakwah dengan pena. Terus beramal dan berkontribusi tak peduli dikenal atau tidak.

Bukan berarti itu sebuah bentuk prasangka dan rasa tak percaya. Tapi hakekatnya itu sebagai bentuk cinta beliau pada kami, agar sejak awal kami tak salah langkah. Agar buah karya yang kami tulis sepenuh hati mampu berbuah pahala. Dan atas izin Allah, buah karya kami mampu menuntun pembacanya lebih dekat pada jalan cahaya. Sebab beliau berharap perkataan hikmah dari Al Jahiz berlaku pada kami, “Perhatikanlah wahai para penulis. Jika engkau melakukannya tanpa keikhlasan maka tulisanmu akan menjadi seperti buih yang hilang selayaknya tumbuhan di musim buah yang terbakar oleh angin musim panas”. Yang senada pula dengan Firman Allah, “Adapun buih maka ia akan segera hilang, sedangkan sesuatu yang bermanfaat itu akan tetap di bumi” (QS. Ar Ra’d : 17).

Sekali lagi, tak salah yang beliau sampaikan. Begitulah realitas yang mungkin dialami oleh seorang penulis yang lama apalagi yang masih pemula. Godaan keikhlasan bisa datang kapan saja. Saat merampungkan sebuah tulisan, dipublish kemudian dibaca. Tak berapa lama, muncul komentar positif maupun negatif. Jika yang komentar jenis yang kedua mungkin kita sudah mempersiapkan diri dan waspada. Justru yang bisa jadi bahaya sesungguhnya adalah komentar jenis yang pertama. Pujian lewat FB, mention di Twitter, sms yang menerbangkan ke awang–awang dan bahkan pujian langsung secara lisan di depan mata. Itu semua bakal jadi bibit benalu riya’ yang akan tumbuh subur dalam hati kita. Adalah bijaksana jika kita benar-benar bisa waspada. Sebab jika terjebak riya, musnah dan sia-sia belaka buah karya kami.

Meski, sejatinya kita semua tak pernah bisa menghakimi dengan pasti. Apakah amalan yang telah kita lakukan sudah benar-benar ikhlas dan terbebas dari “syirik kecil” alias riya atau sebaliknya. Karena memang keikhlasan itu termasuk salah satu kata sifat yang paling sulit digambarkan wujudnya. Sebagai mana dalam kalimat hikmahnya, Al Juneid berkata “keikhlasan itu rahasia antara Allah dengan seorang hamba. Tidak diketahui malaikat sehingga tak bisa ditulis, tidak diketahui oleh syaitan sehingga tak bisa dirusak oleh syaitan, tidak juga bisa dikenali hawa nafsu sehingga tak bisa disimpangkan olehnya”. 

Keikhlasan tak bisa direkayasa atau dibuat-buat, ia akan mengalir begitu saja dalam jiwa. Itu pekerjaan yang tak mudah. Bahkan mungkin, lebih dari sekedar sulit. Sebagaimana yang dikutip Al Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin, Sahl bin Abdullah ditanya “Apakah hal yang paling berat yang dilakukan oleh jiwa…? “ Beliau menjawab “Keikhlasan, karena jiwa tidak punya bagian untuk mengendalikannya”

Akhir kata, Ikhlas itu tak mudah. Tapi sebagai mana yang saya percaya, bukan berarti itu tak mungkin jika kita benar- benar berupaya. Sebab surga juga tak murah. Butuh mujahadah. Dan, ikhlas tak hanya diperlukan saat menulis saja tapi pada setiap amalan apapun yang hendak kita lukis dalam sejarah usia kita. Karena dengan kekeikhlasan, segala amalan kita serasa lebih bernyawa, lebih punya ruh. Sebagaimana kata- kata hikmah Ibnu Atho’illah dalam karya fenomenalnya, Al Hikam “Amal itu ibarat sebuah jasad sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.”
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KECAMATAN PANTAR BARAT LAUT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger